Rabu, 10 Maret 2010

Deskripsi Pada Sore Hari

Saya adalah lelaki berkaca mata yang saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas terkemuka di Indonesia yang berada di ibu kota negera ini, Jakarta. Semua orang sudah pasti tahu, walaupun tidak semua masyarakat Indonesia mengetahuinya, julukan “Kampus Pahlawan Reformasi” yang terus melekat sampai kapanpun pada almamater dan seluruh sivitas akademika Universitas Trisakti. Jika mendengar julukan itu, orang akan flashback ke masa lalu, tepatnya pada 12 Mei 1998. Saat itulah terjadi peristiwa bersejarah sekaligus sebagai sebuah gerakan mahasiswa paling berdarah sepanjang berdirinya bangsa dan negara sampai saat ini. Penembakan oleh aparat keamanan kepada mahasiswa-mahasiswa Universitas Trisakti setelah melakukan aksi damai menentang rezim pemerintahan negeri ini pada pada saat itu. Aksi damai yang berakhir tragis dan menyedihkan yang sangat mendalam karena menyisakan empat kawan kami yang tewas tertembus timah panas pada saat itu. Saya memang tidak berada pada peristiwa itu, bahkan saya tidak mengerti sama sekali tentang peristiwa tersebut yang merembet menjadi kerusuhan massal di Jakarta dan daerah karena pada saat itu saya masih berusia 10 tahun. Tetapi setidaknya saya bisa merasakan suasana mencekam pada saat itu dan pedihnya sebagai mahasiswa karena sampai terjadi adanya korban tewas dalam aksi mahasiswa.

Segelitir kawan-kawanku ada yang menyebut diri saya sebagai aktivis kampus yang berkarya memberikan semacam sumbangsih yang berguna bagi kemahasiswaan. Tapi menurut diri saya pribadi, saya hanyalah mahasiswa biasa yang dituntut oleh orang tua untuk terus menuntut ilmu dan menyelesaikan kuliah secapatnya. Memang saya pernah aktif di organisasi kemahasiswaan / ormawa kampus (menjabat sebagai Ketua Bidang Pengkajian Ilmiah Badan Pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi USAKTI pada periode kerja 2008/2009) untuk menemukan, mengembangkan, dan menyalurkan potensi dalam diri saya. Banyak sekali pengalaman baru yang saya temukan di sana, terutama yang paling berkesan bagiku berinteraksi dengan kawan-kawan seperjuangan di dalam satu organisasi. Kami sering berbeda pemikiran dan bahkan berselisih, tapi itulah yang kusebut seni dalam berorganisasi.

Semasa aktif di ormawa, saya berusaha untuk terus bisa memberi semua pemikiran dan kreatifitas yang ku punya untuk membuat suatu kegiatan yang penting bagi kemahasiswaan yang masih ada hubungannya dengan ilmiah. Saat itu saya memimpin divisi yang melingkupi kegiatan semacam pertemuan dan penelitian ilmiah di bidang ilmu Akuntansi. Saat di awal untuk dipercayakan sebagai ketua, yang ada dipikiran saya hanyalah bagaimana saya bisa memberikan kepercayaan kepada semua anggota saya bahwa mereka bisa percaya pada diri saya untuk mampu memimpim divisi tersebut. Lalu seiring berjalannya waktu, saya menuntut diri sendiri untuk bisa mendidik semua junior-junior saya agar nantinya mereka paling tidak bisa mengerti tentang cara membuat suatu kegiatan (acara/event) dan menjalankan birokrasinya di lingkungan kampus.

Saya berkata jujur bahwa pada saat saya aktif di ormawa tidak mengharapkan pamrih apapun, yang saya lakukan dan berikan adalah ikhlas untuk bisa memberi dan mengabdi kepada semua mahasiswa (khususnya mahasiswa Jurusan Akuntansi). Menurutku, mahasiswa yang aktif di ormawa sejatinya adalah pejabat mahasiswa yang harus melayani semua kebutuhan kemahasiswaan, menyalurkan aspirasi, dan memperjuangkan semua hak-hak mahasiswa yang dianggap benar dan tidak menyalahi aturan. Jika keluar ke lingkungan masyakakat, maka perjuangan berubah menjadi sebuah gerakan untuk mengedepankan hak-hak dan kepentingan rakyat dalam berbangsa dan bernegara. Itulah yang seharusnya ada pada jiwa dan hati seluruh mahasiswa Indonesia. Mengejar cita-cita adalah impian dan tujuan yang harus digapai. Tetapi kontrol sosial yang sehat dan berintelektual harus ada untuk keseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sungguh mulia hidup ini kalau semua orang setidaknya berpikir untuk bisa terus mengedepankan kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Bila ketiga hal tersebut sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, maka kedamaian di dunia ini akan tercipta.

Tidak ada komentar: