Rabu, 10 Maret 2010

Khutbah Jumat Provokatif

Hari Jumat (15/1) aku sengaja untuk sholat jumat di mesjid Kampus Universitas Trisakti, karena jam 13.30 ada jadwal ujian akhir semester. Sebelumnya aku pikir memang tidak ada hal yang luar biasa pada sholat jumat tersebut. Khutbah seperti biasa. Sholat jama’ah seperti biasa. Kecuali waktu kurang lebih setahun yang lalu. Ada kejadian menarik. Imam sholat melakukan kesalahan dalam gerakan dan rakaat sholat. Membuat kacau semua jama’ah. Lebih untung karena di akhir dia menyatakan maaf sebesar-besarnya. Tapi pada sholat jum’at kemarin itu ada satu hal yang membuat ku miris. Persoalan ada pada khutbah Jum’at. Makna awalnya cukup baik, “menanamkan jiwa islami dan kecintaan terhadap Islam.” Tapi siapa sangka pengkhutbah memasukkan materi-materi yang bagiku aneh dan tidak pantas. Bagaimana bisa dia menanamkan kebencian yang mendalam kepada orang-orang non-Muslim, meski itu secara tersirat dalam khutbahnya. Dengan cara menyudutkan agama lain dengan pernyataan-pernyataan yang sangat provokatif. Pernyataan yang masih ku ingat dan yang paling kasar dibanding dengan pernyataan-pernyataannya yang lain (pernyataan dalam khutbahnya banyak yang tidak baik untuk diutarakan di hadapan publik menurut pendapatku), “80% penduduk Indonesia beragama Islam. Tapi Indonesia adalah negara dengan tingkat korupsi paling tinggi di dunia. Lebih tinggi dari negara yang menjadikan seorang nabi sebagai tuhannya. Lebih tinggi dari negara yang menjadikan api sebagai tuhannya. Lebih buruk dari negara-negara komunis seperti China, Kuba, dan Rusia yang notebene tidak bertuhan sekalipun.” Satu hal dia salah, Rusia sudah “modern”. Selama yang aku tahu mereka sudah lama meninggalkan jauh sejarah Uni Soviet-nya. Saat ini mereka beralih menjadi negara kapitalis. Mengesampingkan soal korupsi yang membuat bobrok negara kita tercinta, pernyataan pengkhutbah Juma’at bisa menimbulkan permusuhan antar umat beragama. Tidak seharusnya seorang muslimin menyudutkan agama lain seperti itu, apalagi itu dalam situasi peribadatan. Bagaimanapun juga mereka non-Muslin hidup berdampingan dengan kita. Aku adalah penganut Islam yang universal, tidak sempit, di mana saling menghormati dan menghargai antar umat beragama adalah mutlak untuk suatu kedamaian. Radikalisme harus dihilangkan dari jiwa anak-anak muda. Apalagi jika sudah menyinggung soal suku, agama, ras, dan golongan tertentu. Bangsa ini sangat sensitif dengan hal-hal tersebut. Sedikit saja tersentil, maka jangan kaget jika ada chaos ataupun konflik antar suku/agama di mana-mana. Tapi yang akhirnya meredakan hatiku adalah di akhir khutbah dia mengatakan “kurang lebih saya mohon maaf”, yang walaupun sepertinya tidak tulus tapi setidaknya sudah sedikit bisa “menyelamatkan” dirinya dari cap-cap ekstremis radikal muslim dari orang-orang yang tidak setuju dengannya.

Tidak ada komentar: